I
Apa kamu bahagia?
Sebuah pertanyaan klise yang sebenarnya mirip dengan "bagaimana kabarmu?"
Kalau saja mendefinisikan bahagia itu semudah memetik daun layu yang tangkainya sudah lapuk
Bahagia apakah milik jiwa atau raga? Atau keduanya?
Karena sepertinya perut kenyang saja sudah cukup membahagiakan bukan?
Apa kamu sudah bahagia?
Jawaban yang seharusnya hatilah yang paling tau
Hari-hari menanti hujan di september 'ceria' ini, pada akhirnya akan berlalu juga kan?
Samar-samar nantinya hujan akan datang membawa kebahagiaan juga kan?
Dalam bisu mereka bertukar imaji
Saling membaca kode bahasa hati
Jawaban mereka: "bahagia itu sederhana"
Sudah tertera di dahi mereka
Tapi diantara mereka ada juga yang buta, ya buta mati hatinya
dan dalam lamunan panjang seringkali mereka menggumam "sederhana, sederhana"
Berusaha keras menginterpretasikan kode dibalik kata "sederhana"
Orang-orang yang memilih untuk tidak percaya dan terus berkutat mencari makna
Seperti pesakitan, mereka tak terkendali
Bahagia, sedari gigi susu kita sudah bisa mengejanya
Dan bukankah sejak lahir pun kita sudah bisa merasakannya?
Tak pernah benar-benar kita pahami, karena bahagia itu memang sederhana
"Aku bahagia hanya bila bersamamu"
terdengar picisan? penuh bualan, romantisme yang menggelikan?
Apa bahagia hanya satu?
Bukankah bahagia itu
Sesederhana tawa lepas
Sesederhana perut kenyang
Sesederhana rasa lega
Sesederhana tidur nyenyak
dan boleh jadi,
Sesederhana cinta
Tak terdefinisi, karena Ia hanya sederhana
II
Suatu hari Hati bertanya, "adakah tempat yang bisa aku tuju?"
"Tempat dimana Raga akan dengan ikhlas melangkahkan kakinya?"
Dengan tegas Raga menjawab, "Aku ini sepenuhnya dibawah kendalimu"
"Tak harus taman berbunga, langit biru, atau pelangi, kamu tak perlu ragu, aku akan mengikutimu"
Hati bimbang, Ia selalu saja meragu, "Haruskah aku bertanya pada Logika?"
"Kemana aku harus pergi?"
Logika: "Apapun jawabannya, pasti kau akan menghianatiku, aku selalu menunjukkan jalan yang rasioanal, mencegahmu jadi pesakitan, kau yang irasional, gegabah, dan tidak mau diatur"
"Aku mengikuti nurani, aku memilih jalan yang aku rasa benar, aku tidak bisa membohongi diriku sendiri, aku mungkin memilih terluka, aku bisa saja memilih mati konyol, pada akhirnya ketika aku salah aku akan melakukan pembenaran. Yayaya, aku satu-satunya yang tidak bisa ditipu atau menipu, aku mungkin selalu dalam keraguan, tapi pada akhirnya aku menemukan jalan juga. Jalan menuju pesakitankah? tidak mengapa asal aku tidak menyesal"
"Penyesalan adalah rasa sakit yang tertunda"
III
Kalau kamu bisa mau dan berani bilang satu kali saja kalimat itu,
Aku akan mengunci mulutku rapat-rapat
Menyembunyikan tanganku dibawah meja
Menutup mata, menjadikan diriku tuli
Mematikan semua radarku
Aku akan menunggu
Aku akan menyimpan hatiku dalam kotak-kotak rindu
Dan kuncinya akan kuberikan hanya untuk kamu
IV
Ibuku pernah bilang kalau hati manusia itu ibarat Bianglala
Aku bilang hati itu seperti Kora-kora
Berubah cepat bergerak dinamis
Hari ini ingat besok lupa, hari ini cinta besok benci
Ada beberapa hal yang terus bertahan bukan berarti itu sejati
Hanya saja Ia belum lapuk termakan waktu
Nantinya juga terlupakan
Atau mungkin melupakan dan boleh jadi dilupakan
Pada akhirnya yang paling stabil adalah kenangan akan perasaan itu sendiri
V
Move on itu bukan berarti punya cerita baru
Bukan berarti melupakan
Bukan cuma soal ikhlas rela
Lain dimulut lain dihati
Move on itu kalau sudah merdeka dari rasa ingin memiliki yang bukan haknya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar